Membongkar Mitos Terbesar dalam Data Science

Dalam dunia data science, nyatanya masih ada beberapa mitos yang seringkali membuat keliru pemahaman para data scientist, apa saja kah itu?

Bunga Dea Laraswati
Bunga Dea Laraswati

Table of Contents

Dalam era data science yang terus berkembang, pandangan umum tentang kuantitas data dan keakuratannya mulai diperdebatkan. Meskipun banyak yang meyakini bahwa lebih banyak data berarti analisis yang lebih akurat, pendapat ini mulai dipertanyakan oleh para praktisi di bidang ini.

Sebuah survei menunjukkan bahwa persepsi ini bukanlah kebenaran mutlak, dengan sebagian besar responden menganggap keyakinan bahwa "lebih banyak data berarti analisis yang lebih baik" sebagai mitos terbesar dalam data science. Meskipun data besar dapat memberikan keuntungan, keakuratan analisis tidak semata bergantung pada jumlahnya saja. Yuk pahami lebih lanjut!

Lebih banyak data berarti lebih akurat

Pendapat umum yang menyatakan bahwa semakin banyak data, maka analisis akan semakin akurat, kini mulai diragukan dalam dunia data science. Meskipun banyak perusahaan meyakini bahwa volume data yang besar akan memastikan keputusan yang lebih baik, pandangan ini mulai dipertanyakan oleh para praktisi data science.

Dalam survei, 31% responden menyebut bahwa mitos terbesar dalam data science adalah keyakinan bahwa memiliki lebih banyak data akan menghasilkan analisis yang lebih akurat. Selain itu, 15% responden lainnya memilih bahwa "Anda memerlukan banyak data" adalah kesalahpahaman utama dalam data science.

Meskipun memiliki data dalam jumlah besar dan lengkap memiliki keuntungan seperti menyelesaikan masalah variasi, namun tidak selalu menangani masalah lainnya seperti bias, juga tidak menggantikan analisis konvensional. Perusahaan-perusahaan dengan kemampuan data science yang paling canggih telah menyadari hal ini.

Kesimpulannya, meskipun data yang melimpah bisa memberikan keuntungan, keakuratan analisis tidak hanya bergantung pada jumlahnya saja. Pemahaman mendalam dan analisis yang cermat tetap menjadi kunci untuk pengambilan keputusan yang tepat.

Data science selanjutnya akan diotomatisasi

Pandemi telah mendorong para pemimpin perusahaan di berbagai sektor untuk mencari solusi otomatisasi sebagai jawaban atas gangguan yang dialami selama hampir dua tahun terhambatnya produksi pabrik dan kendala dalam rantai pasokan, ditambah dengan situasi pasar tenaga kerja yang ketat saat ini. Meskipun data science menjadi fondasi dari sebagian besar otomatisasi yang ada, banyak yang meragukan bahwa data science akan menjadi kandidat utama dalam gelombang selanjutnya dari perubahan yang didorong oleh kecerdasan buatan (AI).

Sebanyak 33% responden dalam survei menganggap mitos terbesar adalah bahwa data scientist akan segera digantikan oleh AI. Namun, sedikit data scientist yang merasa khawatir bahwa mesin akan menggantikan peran mereka. Sebaliknya, mereka melihat peluang bagi AI dan otomatisasi untuk membantu dalam tugas-tugas yang sederhana sehingga manusia bisa lebih fokus pada intervensi manusiawi, interpretasi, dan pemecahan masalah yang lebih kompleks.

Singkatnya, otomatisasi akan memungkinkan manusia untuk mengembangkan model atau algoritma yang lebih rumit sambil mengurangi waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan rutin. Tidak mengherankan jika hanya 4% responden survei yang memiliki pandangan negatif terhadap AutoML, sementara 55% meresponsnya dengan sentimen positif. Dengan demikian, meskipun otomatisasi semakin diperkenalkan, data scientist tidak akan sepenuhnya tergantikan oleh teknologi.

Sebaliknya, ini membuka kesempatan bagi kolaborasi antara kecerdasan buatan dan keterampilan manusiawi, membebaskan waktu dan energi manusia untuk fokus pada tugas yang memerlukan pemikiran dan keahlian manusiawi yang lebih mendalam

Data scientist tidak bisa membuat kode

Dalam dunia data science yang masih terus berkembang, banyak organisasi yang kini baru mulai merekrut tenaga khusus dalam bidang tersebut. Data scientist sering dikelompokkan bersama dengan karyawan "teknis" lainnya dalam suatu organisasi.

Bila dibandingkan dengan seorang insinyur perangkat lunak, mungkin terasa menggoda untuk menganggap bahwa data scientist tidak memiliki kemampuan dalam mengkode. Namun, sebenarnya sebagian besar data scientist juga merupakan pemrogram, hanya dalam jenis yang sedikit berbeda. Dalam survei yang dilakukan, 19% responden menempatkan "data scientist tidak bisa mengkode" sebagai mitos terbesar mengenai data science.

Perbedaan antara data scientist dan software engineering terletak pada bagaimana, kapan, dan mengapa mereka menggunakan kode. Bagi data scientist, Python biasanya menjadi keterampilan dasar dalam alat bantu mereka untuk menggali wawasan dari sekumpulan data. Mereka bekerja dengan kode dalam membangun jalur data dan model pembelajaran mesin untuk mengambil data, merancang fitur, serta membangun dan menerapkan model.

Di sisi lain, software engineering menggunakan kode terutama dalam pengembangan produk, seringkali memfokuskan pada infrastruktur, otomatisasi, pengujian, dan pemeliharaan. Walaupun demikian, karena keberagaman keterampilan yang diperlukan dalam menjadi seorang software engineering, beberapa keterampilan akhirnya akan tumpang tindih dengan yang dimiliki oleh data scientist keduanya memiliki kesamaan lebih dari yang banyak orang sadari.

Kesimpulan

Kesimpulannya, dalam dunia data science, kepercayaan bahwa lebih banyak data akan secara otomatis menghasilkan analisis yang lebih akurat mulai diragukan. Meskipun volume data besar memiliki keuntungan, seperti menangani variasi, keakuratan analisis tidak hanya tergantung pada jumlah data. Pentingnya pemahaman mendalam dan analisis cermat tetap menjadi kunci dalam pengambilan keputusan yang tepat.

Terkait otomatisasi, meskipun ada pandangan bahwa data science akan tergantikan oleh AI, sebagian besar praktisi melihatnya sebagai peluang untuk kolaborasi. Otomatisasi akan memungkinkan manusia fokus pada tugas kompleks, sementara teknologi mendukung dalam pekerjaan rutin.

Meskipun otomatisasi semakin diperkenalkan, hal ini tidak akan sepenuhnya menggantikan peran data scientist, melainkan membuka kesempatan untuk kolaborasi antara kecerdasan buatan dan keterampilan manusiawi.

Terakhir, mengenai mitos bahwa data scientist tidak bisa mengkode, sebenarnya sebagian besar dari mereka memiliki kemampuan pemrograman, hanya dalam konteks yang sedikit berbeda dari software engineering. Mereka menggunakan kode untuk menggali wawasan dari data dan membangun model pembelajaran mesin, berbeda dengan penggunaan kode dalam pengembangan produk yang lebih ditekankan oleh software engineering. Meskipun ada perbedaan fokus, ada kesamaan keterampilan yang menjadi pondasi bagi kedua bidang tersebut.

Jika Anda tertarik untuk belajar Data Science lebih lanjut, mari bergabung belajar bersama Algoritma Data Science School sekarang dengan kurikulum terlengkap dan mudah untuk dipahami. Instructor yang berpengalaman dan profesional dalam ilmu data akan menemani Anda untuk bisa mendalami nya lebih jauh lagi.

Insights

Bunga Dea Laraswati

Sr. Writer Algoritma Data Science School